Karin - 2
“Ah… ah… ugh… Tuan♥”
Karin yang sudah telanjang di pelukanku terus mendesah manja.
Di luar jendela, matahari pagi baru saja terbit.

Karin - 2
“Ah… ah… ugh… Tuan♥”
Karin yang sudah telanjang di pelukanku terus mendesah manja.
Di luar jendela, matahari pagi baru saja terbit.
Setelah seharian penuh bergelut di ranjang, seprai sudah berantakan oleh campuran sperma dan cairan cintanya.
Ini sudah cukup.
Berkat “usaha” tanpa henti itu, dia sekarang benar-benar patuh padaku.
“Ah… ah… ah…♥”
Tubuhnya masih bergetar pelan.
Sudah tak terhitung berapa kali dia klimaks.
Tapi kepitan vaginanya tetap tak kendur, malah membuatku kembali menyemprot di dalamnya.
“Haa… ah…”
Kutarik penisku dari Karin yang masih terengah-engah.
Begitu “sumbat” itu lepas, sperma yang memenuhi rahimnya langsung mengalir deras ke seprai.
Gulp—
Perutku yang lapar langsung berbunyi keras.
Baru sadar, sejak datang ke sini aku cuma makan sepotong daging kering.
Setelah kenikmatan orgasme reda, Karin menarik napas panjang dan menatapku.
Tatapannya bukan lagi waspada…
Melainkan penuh kasih sayang.
Semua kerja kerasku terbayar.
“Aku buatkan makan ya?”
Nada Karin jauh lebih lembut dan manja dibanding saat pertama kali bertemu.
“Kalau kamu mau, aku senang banget.”
Saat dia bangun dari ranjang, gravitasi membuat sperma yang masih tersisa mengalir deras.
Sperma putih yang mengucur dari vagina pinknya jatuh perlahan ke lantai.
Adakah pemandangan yang lebih cabul dari ini?
Aku mengikuti Karin ke lantai satu, meninggalkan jejak pertarungan sengit di belakang.
Sambil Karin menyiapkan makanan, aku duduk di kursi dan menunggu.
“Mau sup coke?”
“Apa saja boleh, secukupnya.”
Lagian aku juga nggak tahu masakan dunia lain seperti apa.
Tapi karena namanya ada kata “sup”, seharusnya bisa dimakan.
Kurasa Karin juga jago masak.
Karin memakai celemek lalu mulai memasak.
Celemek di atas tubuh telanjang.
Kombinasi yang bisa bikin pria mana saja langsung tegang.
Walau sudah berhubungan sepuasnya, penisku tetap berdiri tegak.
“Kalau kurang, bilang ya.”
Semangkuk sup segera tersaji di meja.
Satu di depanku, satu lagi di depan kursi seberang.
Begitu Karin hendak duduk, aku langsung menarik mangkuknya ke arahku.
Dia memandangku bingung.
“Kurang ya?”
“Bukan. Bukannya di sini tempatmu duduk?”
Karin langsung merona, lalu pelan-pelan mendekat.
Dia sudah melihat penisku yang menegang ke langit-langit, lalu dengan hati-hati menempelkan vaginanya ke ujungnya.
Aku suka sekali cara dia patuh walau malu-malu.
Karin perlahan menurunkan pinggulnya, mencoba memasukkan kepala penisku.
“Ugh…”
Rasa nikmat yang menjalar.
Beda dengan saat aku yang menggempur.
Kenikmatan yang lembut, menggelitik, dan manis.
Karin terus menurunkan tubuhnya, tapi aku langsung menarik pinggangnya ke bawah sekaligus.
“Ah…!”
Penisku tersedot habis ke dalam tubuhnya, memberikan kenikmatan maksimal.
“Diam begini sampai supnya habis.”
Karin mengambil sendok dan mulai menyantap supnya.
Aku jadi susah makan karena dia terus menggoda.
Maka tangan satuku kugerakkan ke klitorisnya.
“Ah… ah…”
“Panas, jadi makan pelan-pelan ya.”
“Ah… huh… iya… Tuan…♥”
Setiap kali jari mengelus klitorisnya, tubuh Karin bergetar hebat.
Cairan yang dia keluarkan membasahi vagina dan mengalir ke kursi.
“Kalau sudah habis, bilang ya.”
“Hii… uh… huh… iya…”
Aku mengatur intensitas elusan sesuai sisa sup di mangkuk.
Semakin sedikit, semakin ganas aku menggodanya.
“Ah…! Ha… sudah habis… Aaang♥”
Karin yang baru saja menghabiskan sup langsung klimaks sebelum sempat meletakkan sendok.
Dia bersandar ke dadaku, menggoyangkan bokongnya dengan imut.
“Haa…”
Kuangkat tubuhnya yang masih terengah-engah.
“Hmph…!”
Karin mengerang nikmat saat penisku tercabut di tengah afterglow klimaksnya.
Kuletakkan dia sebentar di lantai.
“Tunggu bentar ya.”
Sekarang giliran perutku yang harus diisi.
Aku sendok sup yang sudah agak dingin dan memasukkannya ke mulut.
Manis dan sangat enak.
Kalau lapar lalu makan sesuatu yang enak, sendok otomatis bergerak sendiri.
Dalam sekejap mangkukku kosong.
Begitu aku hendak bersandar puas, ada sesuatu yang menyentuh bagian bawahku.
Kulihat ke bawah—Karin sudah merangkak di bawah meja dan mengelus penisku.
“Sekarang giliran aku yang melayani.”
Tangannya mulai mengelus kemaluanku.
Sentuhan lembut, tapi rangsangannya lemah.
Kadang-kadang seperti ini juga enak.
“Haa… punya Tuan besar dan panas…”
Karin menggerakkan tangan sambil mencium ujung penisku.
Cairan Cooper mengalir dengan sensasi nikmat yang menggemaskan.
“Tolong kasih aku banyak ya.”
Dia menjilat kepala penis sambil terus mengocok batangnya.
Elusannya lembut dan penuh kasih, persis seperti kepribadiannya.
Bukan rangsangan besar sekaligus, tapi kenikmatan yang meningkat perlahan-lahan.
Lambat, tapi sangat mematikan.
Dia menghisap cairan Cooper yang mengalir, lidahnya sibuk membasahi seluruh batang dengan air liurnya.
“Cup… cairan Cooper Tuan enak sekali…”
Karin bertingkah seolah sedang menikmati susu lezat.
Setiap kali aku merasakan kepitan nikmat, cairan Cooper kembali mengalir.
Dia menjilatnya pelan, merasakan rasanya, lalu menelannya.
Mungkin karena salah satu trait yang kupilih, spermaku jadi terasa enak.
Setelah kenikmatan yang lama, sinyal di bagian bawahku mulai muncul.
Karin juga sepertinya menyadarinya, lidahnya kini fokus di kepala penis.
“Silakan, Tuan… keluarkan sebanyak yang Tuan mau♥”
Wajah lembut dan kata-kata manis.
Kenikmatan yang melonjak hampir membuatku tanpa sadar memanggilnya “Kakak”.
Aku menyemprotkan sperma dalam kenikmatan yang membuncah.
Byur! Byuruut!
Sperma dalam jumlah besar menyembur, meninggalkan noda cabul di dadanya.
Karin menyentuh sperma di dadanya lalu menjilat jarinya dengan menggoda.
Ini benar-benar gila.
Baru saja keluar, tapi penisku tetap tegang.
“Kerja bagus, Tuan…♥”
Begitu selesai, Karin langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya.
Hangat, licin, dan sangat nyaman.
“Cup… cup…”
Dia mulai mengisap sperma yang masih tersisa di dalam mulutnya.
Fellatio lembut yang seolah memanjakanku.
Aku bisa merasakan niatnya ingin membantu mengeluarkan sisa-sisa sperma.
Cairan Cooper dan sperma yang masih tertinggal di saluran keluar dengan nikmat.
“Ugh… mm… gulp.”
Karin menelan semua cairan yang diisapnya lalu melepaskan penisku dari mulutnya.
Benang putih yang menghubungkan bibirnya dengan penisku terlihat sangat erotis.
Tak disangka, dia lawan yang cukup tangguh.
*****
Setelah membersihkan diri, kami duduk di meja dan mengobrol.
Saat kuceritakan bahwa aku terbang dari benua lain karena sihir, dia langsung percaya.
“Begitu ya. Lalu, rencana ke depannya?”
Rencana.
Trait yang membuatku semakin kuat setiap kali membuat wanita klimaks.
Awalnya terasa cepat sekali naiknya, tapi sekarang lajunya mulai melambat.
Mungkin seperti game, semakin tinggi level, semakin banyak exp yang dibutuhkan.
Yang pasti, untuk memaksimalkan trait ini, aku harus pergi ke tempat yang banyak wanita kuat.
Artinya, kota besar.
Kalau sudah di tempat ramai, kesempatan pasti datang sendiri.
“Pertama, aku mau ke kota atau kota terdekat.”
“Aku ikut.”
Karin langsung bilang mau ikut tanpa perlu disuruh.
Ini berkah buatku.
Kalau ada dia yang lebih paham tempat ini, bebanku akan jauh berkurang.
“Ngomong-ngomong, di sini juga boleh poligami kan?”
“Itu hal biasa, bukan cuma di daerah ini, tapi di seluruh benua. Apalagi untuk orang hebat sepertimu, punya seratus wanita pun nggak aneh.”
Untunglah, nggak perlu khawatir kepala belakangku bakal retak.
Melihat sikap Karin yang ramah, sepertinya kami bisa bekerja sama dengan baik.
“Seberapa jauh kota terdekat dari sini?”
“Kalau ke Loern, kira-kira tiga hari.”
Tiga hari.
Buat orang modern, perjalanan yang cukup jauh.
Tapi kalau ditemani kecantikan, pasti nggak akan membosankan.
“Loern itu kota seperti apa?”
“Kota yang katanya apa saja bisa didapat selama ada uang.”
Berarti di sini juga butuh uang untuk hidup.
Kalau bukan barter, pasti ada mata uangnya.
“Sayangnya aku nggak punya uang.”
“Serahkan padaku. Kalau dicari, pasti ada sekitar seratus koin emas.”
Karin tersenyum cerah.
Yah, pinjam dulu sampai aku sukses di dunia ini.
“Oke. Besok kita berangkat, hari ini santai saja sambil persiapan.”
Aku bangun dari kursi dan mendekatinya.
Sebelum berangkat, nggak ada salahnya menikmati sedikit lagi.
